Rabu, 08 Juni 2016

Regulasi

B.   Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium, aerator, timbangan digital, ember, gayung, lap, stopwatch, gelas cup, refraktometer, dan terminal listrik. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan, garam, aquades dan air.
C.   Metode Kerja
1.    Adaptasi Organisme Terhadap Salinitas.
a.    Akuarium disiapkan.
b.    Setiap pasang akuarium diberi 10 liter air dengan salinitas yang berbeda-beda, masing-masing : 3, 9, 13, 16, 20, 23, 25, 26, 30 dan 31 ppt.
c.    Kemudian pada masing-masing media tersebut dimasukkann 5 ekor ikan yang telah dipuasakan selama 24 jam dan telah dihitung bobotnya.
d.    Kondisi media harus dalam keadaan baik terutama kadar oksigennya.
e.    Menghitung laju frekuensi dan laju tutup insang.
f.     Menghitung laju frekuensi dan laju gerakan sirip dada sebagai indicator respon pergerakan.
g.    Mengamati reaksi terhadap sentuhan lidi sebagai indicator respon syaraf kulit.
h.    Mengamati tingkah laku ikan lalau timbang berat ikan.
i.      Hitung penurunan berat ikan.
j.      Hitung juga SRnya.
IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN
A.   Hasil.


Kelompok
Perlakuan
Aquarium
Waktu
(menit)
Respon
SR
SGR
1
Kontrol
1
15
Ikan berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem saraf mata.
100%
0%
30
Ikan berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem saraf mata.
45
Ikan berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem saraf mata.
60
Ikan berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem saraf mata.
Salinitas 1 ppt
2
15
Ikan terlihat berenang aktif,  Bukaan operculum sebanyak 1797 kali.
100%
0%
30
Ikan mengeluarkan feses. Bukaan operculum sebanyak 1570 kali.
45
Ikan terlihat mulai pasif dan mengeluarkan banyak . Bukaan operculum sebanyak 1365 kali.
60
Ikan berenang pasif, terlihat lemas dan berdiam di dasar. Bukaan operculum sebanyak 675 kali dan berat badan menyusut 2 gram
Salinitas 5 ppt
3
15
Ikan terlihat bergerak aktif dan pembukaan operculum terlihat cepat
100%
0%
30
Gerakan ikan masih stabil dan ikan mengeluarkan feses
45
Ikan mulai pasif dan cenderung berenang ke bawah
60
Ikan banyak megeluarkan feses dan pergerakan mulai lambat
2
Salinitas 10 ppt
3
10
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum sebanyak 1249 dan 1346 kali.
100%
0%
20
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum sebanyak 1207 dan 1008 kali.
30
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum sebanyak 1207 dan 1167 kali.
40
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum sebanyak 1136 dan 1205 kali.
Salinitas 15 ppt
1
10
Ikan masih berenang aktif dan normal serta kontrol saraf kulit masih berjalan. Bukaan opeculum sebanyak 920 dan 938 kali.
100%
0%
20
Ikan masih berenang aktif dan normal serta kontrol saraf kulit masih berjalan. Bukaan opeculum sebanyak 1080 dan 980 kali.
30
Pergerakan ikan stabil tetapi bukaan operculum semakin cepat dengan bukaan sebanyak 1150 dan 1060 kali.
Salinitas 20 ppt
2
10
Pergerakan ikan stabil dan tenang. Bukaan operculum sebanyak 870 dan 890 kali.
100%
0%
20
Pergerakan ikan stabil dan tenang, respon syaraf masih aktif serta bukaan operculum semakin cepat dengan bukaan sebanyak 1005 dan 1010 kali.
30
Ikan sering berenang ke permukaan, syaraf mata tidak bekerja dan jumlah bukaan operculumnya adalah 1007 dan 1005 kali.
3
Salinitas 25 ppt
7
15
Pergerakan ikan lambat, terkadang aktif, berenang miring dan diatas permukaan. Gerakan operculum 1755.
100%
0%
30
Berenang didasar, dengan keadaan miring, pergerakan sirip 116 kali per menit.
45
Berenang didasar, respon aktif. Pergerakan operculum 2175.
60
Respon mulai lambat, berenang didasar dan sirip tidak bergerak. 
Salinitas 30 ppt
8
15
Pergerakan ikan lambat, terkadang ikan berenang agresif, Bukaan operculum sebanyak 1710 kali.
100%
0%
30
Respon mata ikan masih baik, gerakan melambat, gerakan sirip 56 kali per menit.
45
Ikan mulai pasif, namun respon mata dan kulit masih baik. Gerakan operculum 2280.
60
Ikan berenang didasar dan gerakan pasif, gerakan sirip 93 kali per menit.
Salinitas 32 ppt
9
15
Ikan masih aktif bergerak, berenang didasar, pergerakan operculum 1724.
100%
0%
30
Respon ikan terhadap gerakan masih baik. Berenang di permukaan. Gerakan sirip 95 kali per menit.
45
Pergerakan mulai lambat, mengeluarkan feses dan mengeluarkan lendir. Pergerakan operculum 2320.
60
Respon lambat, berenang didasar. Gerakan sirip 90 kali per menit.
4
Salinitas 5 ppt
10
15
Ikan berenang pasif, respon mata baik dan respon lambat serta bukaan operculum lebar dan cepat dengan jumlah bukaan sebanyak 2000 kali.
100%
0%
30
Respon mata ikan menurun, respon terhadap sentuhan aktif, satu ekor ikan berenang pasif. Bukaan operculum sebanyak 2000 kali.
45
Respon sirip ikan melambat, pergerakan ikan melambat, satu ekor ikan berenang pasif dan bukaan operculumnya sebanyak 1500 kali.
60
Satu ekor ikan berenang pasif dan respon matanya menurun, bukaan operculum kecil dan lambat dengan bukaan sebanyak 1250 kali.
Salinitas 15 ppt
11
15
Operkulum membuka lebar, ikan masih bergerak aktif. Gerakan operkulum 1760 kali
100%
0%
30
Bukaan operkulum lebar, ikan berenang dipermukaan dan gerakan melambat. Gerakan operkulum 1430 kali
45
Ikan mengambil oksigen dipermukaan dan berenang dipermukaan, ikan mengeluarkan feses. Gerakan operkulum 1250 kali
60
Respon ikan menurun, ikan terlihat stres dan mengeluarkan feses. Gerakan operkulum 970 kali
Salinitas 30 ppt
12
15
Ikan berenang miring dan dipermukaan, ikan terlihat stres, bukaan operculum membesar, gerakan melambat, dan ikan berkumpul. Gerakan operkulum 1210 kali
0%
0,5%
30
Ikan mengambil oksigen dipermukaan, gerakan dan respon ikan melambat. Gerakan operkulum 702 kali
45
Ikan terlihat lemas dan mengapung, ikan terkadang melompat, tiga ikan mati pada menit ke-32. Gerakan operkulum 65 kali
60
Operkulum membuka lebar, ikan masih bergerak aktif. Gerakan operkulum 1760 kali


B.   Pembahasan
Telah dilakukan praktikum mengenai adaptasi organisme akuatik terhadap perubahan variable lingkungan.
Tekanan osmotik (salinitas) media optimum ikan adalah 13 ppt. Hal ini ditujukkan oleh nilai Specific Grow Rate (SGR) yang sangat kecil. SGR menunjukkan pertumbuhan bobot tubuh organisme (ikan). Saat diberi perlakuan dengan salinitas 13 ppt, penurunan bobot tubuh ikan sebesar 0,31 %. Sedangkan salinitas optimum ikan nila adalah 9 ppt. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan bobot tubuh ikan nila pada 9 ppt jauh lebih kecil dibandingkan dengan penurunan bobot tubuh ikan nila ketika diberi perlakuan dengan berbagai macam salinitas, yakni hanya sebesar 0,63%.
Tingkah laku ikan nila ketika diberi salinitas antara 3 ppt sampai 30 ppt masih normal. Ikan nila juga masih mampu bertahan hidup. Begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikan nila sampai pada 20 ppt masih tinggi. Jika diberi perlakuan dengan media hidup dengan salinitas di atas 20 ppt maka tingkat kelangsungan hidup ikan nila rendah bahkan 0%. Hal ini menunjukkan bahwa ikan nila hanya dapat mentolerir salinitas air sampai sekitar 20 ppt. Ini didukung oleh pendapat William (1979) dalam Anggraeni (2002) yang menyatakan bahwa seluruh organisme memilki beberapa kisaran salinitas dan apabila kisaran tersebut terlampaui maka organisme tersebut akan mati atau pindah ke tempat lain.
Jika dilihat dari tingkah laku ikan, maka ketika diberi perlakuan dengan salinitas 3 ppt, 9 ppt, dan 13 ppt maka ikan masih terlihat normal, berenang dan bergerak normal. Begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikan sampai 13 ppt masih sangat tinggi. Namun, ketika ikan diberi perlakuan dengan salinitas di atas 13 ppt, tingkah laku ikan cenderung tidak normal. Hal ini disebabkan oleh karena salinitas media yan diberikan kurang bias ditolerir oleh ikan mas. Sebagai bentuk adaptasi awal terhadap perubahan salinitas, ikan mengeluarkan banyak lendir. Ini kemungkinan karena ikan mengalami stress, sehingga akhirnya bias menyebabkan kematian. Hal ini didukung oleh pernyataan Effendi (2001) yang menyebutkan bahwa ikan air tawar tidak bisa dipaksakan dipelihara dalam air bersalinitas (kadar garam).
Tingkat penurunan bobot tubuh ikan nila terhadap salinitas air yang berbeda-beda sangat berfluktusi. Begitu pula dengan tingkat penurunan bobot tubuh ikan mas. Namun, secara umum terlihat bahwa semakin tinggi dari batas optimum salinitas yang diberikan, maka penurunan bobot tubuh ikan akan semakin tinggi pula, dan bahkan menyebabkan ikan mati. Hal ini disebabkan oleh sistem fisiologis yakni osmoregulasi di dalam tubuh ikan agar mampu menyeimbangkan tekanan osmotik di dalam dan di luar tubuh ikan. Ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh  Musida (2008) yaitu daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi. Ketika salinitas air yang diberikan sesuai dengan salinitas media hidupnya artinya media yang mendekati isoosmotik, maka ikan tidak perlu menngeluarkan energi yang besar untuk melakukan proses osmoregulasi untuk mempertahankan hidupnya. Sebaliknya ketika ikan diberikan dengan salinitas media yang jauh lebih tinggi dengan salinitas habitatnya, maka tentunya ikan akan memerlukan energi yang cukup besar untuk bisa melagsungkan proses osmoregulasi dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Naksara.net (2008) yaitu semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya.
Energi juga diperlukan ikan untuk hidup. Tanpa energi maka ikan tidak bisa hidup. Energi diperoleh ikan dari makanan. Artinya ketika proses osmoregulasi membutuhkan energi yang besar, maka energi yang seharusnya digunakan ikan untuk hidup dan tumbuh tersita untuk proses osmoregulasi. Di pihak lain, ikan dalam percobaan tidak diberi makan, artinya ikan tidak mendapat asupan energi. Sehingganya  cadangan energi yang dimilki ikan akan berkurang, akhirnya bobot tubuhnya menurun dan lama kelamaan ketika cadangan energi habis maka ikan mati. Hal ini didukung oleh pendapat Stickney (1979) dalam Dewi (2006) bahwa ikan yang dipelihara dalam air media dengan salinitas lingkungan tidak sesuai dengan konsentrasi garam fisiologis dalam tubuhnya, energi dari anabolisme makanan yang akan dipakai untuk keperluan kegiatan fisikdan pergantian sel tubuh dengan lingkungannya sehingga proses pertumbuhan terhambat. O-fish (2009) menyebutkan bahwa apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis yang terjadi, ikan yang bersangkutan akan mati., karena akan terjadi ketidakseimbangan konsentrasi larutan tubuh yang akan berada diluar batas toleransinya.
Secara keseluruhan jika dibandingkan antara tingkat kelangsungan hidup ikan nila dan ikan mas, maka ikan nila lebih cenderung bertahan hidup pada media dengan salinitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan ikan mas. Artinya ikan nila memiliki toeransi salinitas yang lebar dibandingkan dengan ikan mas. Ini didukung oleh pendapat Effendi (2001) yang menyatakan bahwa ikan nila relatif cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang baru. Selain itu, juga kemungkinan dikarenakan susunan jaringan insang ikan nila yang cenderung lebih tahan dan kuat terhadap perbedaan salinitas untuk melakukan proses osmoregulasi. Hal ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Black (1957) dalam Wulandari (2006) bahwa kelangsungan hidup ikan air tawar di dalam lingkungan berkadar garam bergantung pada jaringan insang dan daya tahan (toleransi) jaringan terhadap garam-garam dan kontrol permeabilitas.
Menurut Wulangi,kartolo.S (1993). Sebagai hewan yang memiliki cairan tubuh hiperosmotik terhadap mediumnya,maka invertebrata air tawar menghadapi dua masalah osmoregulasi yaitu:
  1. Tubuhnya cenderung menggembung karena gerakan air masuk ke dalam tubuhnya mengikuti gradien kadar
  2. Hewan menghadapi kehilangan garam tubuhnya, karena medium di sekitarnya mengandung garam lebih sedikit.
Oleh karena itu invertebrate air tawar sebagai regulator hiperosmotik harus mengatur jumlah air yang masuk dan jumlah garam yang keluar tubuhnya. Pada umumnya regulator hiperosmotik memiliki urin yang lebih encer dari cairan tubuhnya.
Ikan air tawar memiliki osmokosentrasi plasma sebesar 130 – 170 mOsm, urin banyak dan encer. Perbandingan penuntunan titik beku antara medium, cairan tubuh dan urin adalah sebagai berikut : (∆0 = -0,030 C ; ∆I = -0,57 C; ∆u = -0,08 C) dan volume urinnya 200-400 ml/kg/hari. Kulitnya relative impermiabel, sedikit air masuk lewat minum dan makan, tetapi jumlah air yang masuk melalui osmotic melalui insang dan membrane mulut. Kelebihan air yang masuk akan diimbangi dengan eksresi lewat ginjal, sebab ginjalnya memiliki glimeruli yang telah berkembang dengan baik untuk filtrasi. Begitu filtrat melalui tubulus, sebagian besar zat terlarut direabsorbsi, sehingga menghasilkan urin yang encer, namun tidak seencer air tawar, sehingga garam yang hilang selain melalui urin juga melalui difusi dan feses. Garam yang hilang sebagian diganti lewat makanan, sebagian lewat absorpsi aktif dari medium oleh sel-sel khusus pada insang. Klorida diabsorbsi melawan gradient dari medium yang sangat encer.
Untuk penambahan garam, beberapa spesies bergantung terutama pada makanan (Acerina, Perca) sementara yang lain memilki system absorbsi garam secara aktif melalui insang (Leuciscus, Carrasius). Keadaan ini dapat diteliti dengan menempatkan ikan dalam ruang yang bersekat, sehingga bagian kepala dan bagian tubuh belakang dapat dipelajari secara terpisah. Dengan penelitian semacam itu diketahui bahwa pengambilan ion secara aktif terjadi hanya pada ruang bagian depan. Kesimpulannya bahwa kulit hanya berperan kecil dalam pengambilan ion dan kalau ada melalui absorbsi melalui absorsi aktif.
Selain itu ikan yang hidup di air tawar pada umumnya kadar osmotic cairan tubuhnya adalah 300 m0sm per liter dan bersifat hipertonik dibandingkan dengan lingkungannya (air tawar).
Meskipun permukaan tubuhnya biselubungi oleh sisik dan mucus yang relatif impermeabel, manun demikain bayak air yang masuk ke dalam tubuh dan juga terjadi pengeluaran ion-ion melintasi insang yang bersifat sangat permiabel. Selain itu insang disini juga merupakan organ eksresi yang membuang zat buangan bernitrogen dalam bentuk ammonia. Untuk menjaga cairan tubuhnya agar tetap dalam keadaan konstan (keadaan lunak), ikan air tawar secara terus menerus mengeluarkan sejumlah besar air. Ini dilakukan dengan cara memproduksi sejumlah besar filtrat glomerulus dan kemudian dilakukan reabsorbsi pilihan zat terlarut dan tubulus renalis menuju kedalam darah yang terdapat di kapiler peritubuler. Akibatnya terbentuklah urin dengan jumlah besar, bersifat encer (hipotonik bidandingkan dengan darh ikan tersebut), mengandung ammonia dan sedikit mengandung zat terlarut. Ion-ion yang hilang dari cairan tubuh diganti dengan makanan yang dimasukkan kedalam tubuh dari lingkungannnya dengan perantaraan secara khusus yang terdapat di insang. (Wulangi,kartolo.S.1993 : 164-165)
V.     KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, maka dapat disimpulkan bahwa semakin jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi.


 http://widiindrakesuma.blogspot.co.id/2013/10/osmoregulasi-laporan-praktikum.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar