B. Alat
dan Bahan
Alat-alat yang
digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium, aerator, timbangan digital,
ember, gayung, lap,
stopwatch, gelas cup,
refraktometer, dan terminal listrik. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam
praktikum ini adalah ikan, garam, aquades dan air.
C.
Metode Kerja
1.
Adaptasi Organisme Terhadap Salinitas.
a.
Akuarium
disiapkan.
b.
Setiap
pasang akuarium diberi 10 liter air dengan salinitas yang berbeda-beda,
masing-masing : 3, 9, 13, 16, 20, 23, 25, 26, 30 dan 31 ppt.
c.
Kemudian
pada masing-masing media tersebut dimasukkann 5 ekor ikan yang telah dipuasakan
selama 24 jam dan telah dihitung bobotnya.
d.
Kondisi
media harus dalam keadaan baik terutama kadar oksigennya.
e.
Menghitung
laju frekuensi dan laju tutup insang.
f.
Menghitung
laju frekuensi dan laju gerakan sirip dada sebagai indicator respon pergerakan.
g.
Mengamati
reaksi terhadap sentuhan lidi sebagai indicator respon syaraf kulit.
h.
Mengamati
tingkah laku ikan lalau timbang berat ikan.
i.
Hitung
penurunan berat ikan.
j.
Hitung
juga SRnya.
IV. HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Hasil.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Aquarium
|
Waktu
(menit)
|
Respon
|
SR
|
SGR
|
1
|
Kontrol
|
1
|
15
|
Ikan
berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem
saraf mata.
|
100%
|
0%
|
30
|
Ikan
berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem
saraf mata.
|
|||||
45
|
Ikan
berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem
saraf mata.
|
|||||
60
|
Ikan
berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem
saraf mata.
|
|||||
Salinitas 1 ppt
|
2
|
15
|
Ikan
terlihat berenang aktif, Bukaan
operculum sebanyak 1797 kali.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Ikan
mengeluarkan feses. Bukaan operculum sebanyak 1570 kali.
|
|||||
45
|
Ikan
terlihat mulai pasif dan mengeluarkan banyak . Bukaan operculum sebanyak 1365
kali.
|
|||||
60
|
Ikan
berenang pasif, terlihat lemas dan berdiam di dasar. Bukaan operculum
sebanyak 675 kali dan berat badan menyusut 2 gram
|
|||||
Salinitas 5 ppt
|
3
|
15
|
Ikan
terlihat bergerak aktif dan pembukaan operculum terlihat cepat
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Gerakan
ikan masih stabil dan ikan mengeluarkan feses
|
|||||
45
|
Ikan
mulai pasif dan cenderung berenang ke bawah
|
|||||
60
|
Ikan
banyak megeluarkan feses dan pergerakan mulai lambat
|
|||||
2
|
Salinitas 10 ppt
|
3
|
10
|
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum
sebanyak 1249 dan 1346 kali.
|
100%
|
0%
|
20
|
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum
sebanyak 1207 dan 1008 kali.
|
|||||
30
|
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum
sebanyak 1207 dan 1167 kali.
|
|||||
40
|
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum
sebanyak 1136 dan 1205 kali.
|
|||||
Salinitas 15 ppt
|
1
|
10
|
Ikan masih berenang aktif dan normal serta kontrol
saraf kulit masih berjalan. Bukaan opeculum sebanyak 920 dan 938 kali.
|
100%
|
0%
|
|
20
|
Ikan masih berenang aktif dan normal serta kontrol
saraf kulit masih berjalan. Bukaan opeculum sebanyak 1080 dan 980 kali.
|
|||||
30
|
Pergerakan ikan stabil tetapi bukaan operculum semakin
cepat dengan bukaan sebanyak 1150 dan 1060 kali.
|
|||||
Salinitas 20 ppt
|
2
|
10
|
Pergerakan ikan stabil dan tenang. Bukaan operculum
sebanyak 870 dan 890 kali.
|
100%
|
0%
|
|
20
|
Pergerakan ikan stabil dan tenang, respon syaraf masih
aktif serta bukaan operculum semakin cepat dengan bukaan sebanyak 1005 dan
1010 kali.
|
|||||
30
|
Ikan sering berenang ke permukaan, syaraf mata tidak
bekerja dan jumlah bukaan operculumnya adalah 1007 dan 1005 kali.
|
|||||
3
|
Salinitas 25 ppt
|
7
|
15
|
Pergerakan
ikan lambat, terkadang aktif, berenang miring dan diatas permukaan. Gerakan
operculum 1755.
|
100%
|
0%
|
30
|
Berenang
didasar, dengan keadaan miring, pergerakan sirip 116 kali per menit.
|
|||||
45
|
Berenang
didasar, respon aktif. Pergerakan operculum 2175.
|
|||||
60
|
Respon
mulai lambat, berenang didasar dan sirip tidak bergerak.
|
|||||
Salinitas 30 ppt
|
8
|
15
|
Pergerakan
ikan lambat, terkadang ikan berenang agresif, Bukaan operculum sebanyak 1710 kali.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Respon
mata ikan masih baik, gerakan melambat, gerakan sirip 56 kali per menit.
|
|||||
45
|
Ikan
mulai pasif, namun respon mata dan kulit masih baik. Gerakan operculum 2280.
|
|||||
60
|
Ikan
berenang didasar dan gerakan pasif, gerakan sirip 93 kali per menit.
|
|||||
Salinitas 32 ppt
|
9
|
15
|
Ikan
masih aktif bergerak, berenang didasar, pergerakan operculum 1724.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Respon
ikan terhadap gerakan masih baik. Berenang di permukaan. Gerakan sirip 95
kali per menit.
|
|||||
45
|
Pergerakan
mulai lambat, mengeluarkan feses dan mengeluarkan lendir. Pergerakan
operculum 2320.
|
|||||
60
|
Respon
lambat, berenang didasar. Gerakan sirip 90 kali per menit.
|
|||||
4
|
Salinitas 5 ppt
|
10
|
15
|
Ikan berenang pasif, respon mata baik dan respon lambat
serta bukaan operculum lebar dan cepat dengan jumlah bukaan sebanyak 2000
kali.
|
100%
|
0%
|
30
|
Respon mata ikan menurun, respon terhadap sentuhan
aktif, satu ekor ikan berenang pasif. Bukaan operculum sebanyak 2000 kali.
|
|||||
45
|
Respon sirip ikan melambat, pergerakan ikan melambat,
satu ekor ikan berenang pasif dan bukaan operculumnya sebanyak 1500 kali.
|
|||||
60
|
Satu ekor ikan berenang pasif dan respon matanya
menurun, bukaan operculum kecil dan lambat dengan bukaan sebanyak 1250 kali.
|
|||||
Salinitas 15 ppt
|
11
|
15
|
Operkulum
membuka lebar, ikan masih bergerak aktif. Gerakan operkulum 1760 kali
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Bukaan
operkulum lebar, ikan berenang dipermukaan dan gerakan melambat. Gerakan
operkulum 1430 kali
|
|||||
45
|
Ikan
mengambil oksigen dipermukaan dan berenang dipermukaan, ikan mengeluarkan
feses. Gerakan operkulum 1250 kali
|
|||||
60
|
Respon
ikan menurun, ikan terlihat stres dan mengeluarkan feses. Gerakan operkulum
970 kali
|
|||||
Salinitas 30 ppt
|
12
|
15
|
Ikan
berenang miring dan dipermukaan, ikan terlihat stres, bukaan operculum
membesar, gerakan melambat, dan ikan berkumpul. Gerakan operkulum 1210 kali
|
0%
|
0,5%
|
|
30
|
Ikan
mengambil oksigen dipermukaan, gerakan dan respon ikan melambat. Gerakan
operkulum 702 kali
|
|||||
45
|
Ikan
terlihat lemas dan mengapung, ikan terkadang melompat, tiga ikan mati pada
menit ke-32. Gerakan operkulum 65 kali
|
|||||
60
|
Operkulum
membuka lebar, ikan masih bergerak aktif. Gerakan operkulum 1760 kali
|
B. Pembahasan
Telah
dilakukan praktikum mengenai adaptasi organisme akuatik terhadap perubahan
variable lingkungan.
Tekanan
osmotik (salinitas) media optimum ikan adalah 13 ppt. Hal ini ditujukkan oleh
nilai Specific Grow Rate
(SGR) yang sangat kecil. SGR menunjukkan pertumbuhan bobot tubuh organisme
(ikan). Saat diberi perlakuan dengan salinitas 13 ppt, penurunan bobot tubuh
ikan sebesar 0,31 %. Sedangkan salinitas optimum ikan nila adalah 9 ppt. Hal
ini ditunjukkan oleh penurunan bobot tubuh ikan nila pada 9 ppt jauh lebih
kecil dibandingkan dengan penurunan bobot tubuh ikan nila ketika diberi
perlakuan dengan berbagai macam salinitas, yakni hanya sebesar 0,63%.
Tingkah
laku ikan nila ketika diberi salinitas antara 3 ppt sampai 30 ppt masih normal.
Ikan nila juga masih mampu bertahan hidup. Begitu pula dengan tingkat
kelangsungan hidup ikan nila sampai pada 20 ppt masih tinggi. Jika diberi
perlakuan dengan media hidup dengan salinitas di atas 20 ppt maka tingkat
kelangsungan hidup ikan nila rendah bahkan 0%. Hal ini menunjukkan bahwa ikan
nila hanya dapat mentolerir salinitas air sampai sekitar 20 ppt. Ini didukung
oleh pendapat William (1979) dalam
Anggraeni (2002) yang menyatakan bahwa seluruh organisme memilki
beberapa kisaran salinitas dan apabila kisaran tersebut terlampaui maka
organisme tersebut akan mati atau pindah ke tempat lain.
Jika
dilihat dari tingkah laku ikan, maka ketika diberi perlakuan dengan salinitas 3
ppt, 9 ppt, dan 13 ppt maka ikan masih terlihat normal, berenang dan bergerak
normal. Begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikan sampai 13 ppt masih
sangat tinggi. Namun, ketika ikan diberi perlakuan dengan salinitas di atas 13
ppt, tingkah laku ikan cenderung tidak normal. Hal ini disebabkan oleh karena
salinitas media yan diberikan kurang bias ditolerir oleh ikan mas. Sebagai
bentuk adaptasi awal terhadap perubahan salinitas, ikan mengeluarkan banyak
lendir. Ini kemungkinan karena ikan mengalami stress, sehingga akhirnya bias
menyebabkan kematian. Hal ini didukung oleh pernyataan Effendi (2001) yang
menyebutkan bahwa ikan air tawar tidak bisa dipaksakan dipelihara dalam air
bersalinitas (kadar garam).
Tingkat
penurunan bobot tubuh ikan nila terhadap salinitas air yang berbeda-beda sangat
berfluktusi. Begitu pula dengan tingkat penurunan bobot tubuh ikan mas. Namun,
secara umum terlihat bahwa semakin tinggi dari batas optimum salinitas yang
diberikan, maka penurunan bobot tubuh ikan akan semakin tinggi pula, dan bahkan
menyebabkan ikan mati. Hal ini disebabkan oleh sistem fisiologis yakni
osmoregulasi di dalam tubuh ikan agar mampu menyeimbangkan tekanan osmotik di
dalam dan di luar tubuh ikan. Ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
oleh Musida (2008) yaitu daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan
osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan
hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi.
Ketika salinitas air yang diberikan sesuai dengan salinitas media hidupnya
artinya media yang mendekati isoosmotik, maka ikan tidak perlu menngeluarkan
energi yang besar untuk melakukan proses osmoregulasi untuk mempertahankan
hidupnya. Sebaliknya ketika ikan diberikan dengan salinitas media yang jauh
lebih tinggi dengan salinitas habitatnya, maka tentunya ikan akan memerlukan
energi yang cukup besar untuk bisa melagsungkan proses osmoregulasi dalam
tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Naksara.net
(2008) yaitu semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan
lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan
osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya.
Energi
juga diperlukan ikan untuk hidup. Tanpa energi maka ikan tidak bisa hidup.
Energi diperoleh ikan dari makanan. Artinya ketika proses osmoregulasi
membutuhkan energi yang besar, maka energi yang seharusnya digunakan ikan untuk
hidup dan tumbuh tersita untuk proses osmoregulasi. Di pihak lain, ikan dalam
percobaan tidak diberi makan, artinya ikan tidak mendapat asupan energi.
Sehingganya cadangan energi yang dimilki ikan akan berkurang, akhirnya
bobot tubuhnya menurun dan lama kelamaan ketika cadangan energi habis maka ikan
mati. Hal ini didukung oleh pendapat Stickney (1979) dalam Dewi (2006) bahwa
ikan yang dipelihara dalam air media dengan salinitas lingkungan tidak sesuai
dengan konsentrasi garam fisiologis dalam tubuhnya, energi dari anabolisme
makanan yang akan dipakai untuk keperluan kegiatan fisikdan pergantian sel
tubuh dengan lingkungannya sehingga proses pertumbuhan terhambat. O-fish (2009)
menyebutkan bahwa apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis yang
terjadi, ikan yang bersangkutan akan mati., karena akan terjadi
ketidakseimbangan konsentrasi larutan tubuh yang akan berada diluar batas
toleransinya.
Secara
keseluruhan jika dibandingkan antara tingkat kelangsungan hidup ikan nila dan
ikan mas, maka ikan nila lebih cenderung bertahan hidup pada media dengan
salinitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan ikan mas. Artinya ikan nila
memiliki toeransi salinitas yang lebar dibandingkan dengan ikan mas. Ini
didukung oleh pendapat Effendi (2001) yang menyatakan bahwa ikan nila relatif
cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang baru. Selain itu, juga kemungkinan
dikarenakan susunan jaringan insang ikan nila yang cenderung lebih tahan dan
kuat terhadap perbedaan salinitas untuk melakukan proses osmoregulasi. Hal ini
didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Black (1957) dalam Wulandari (2006)
bahwa kelangsungan hidup ikan air tawar di dalam lingkungan berkadar garam
bergantung pada jaringan insang dan daya tahan (toleransi) jaringan terhadap
garam-garam dan kontrol permeabilitas.
Menurut
Wulangi,kartolo.S (1993). Sebagai hewan yang memiliki cairan tubuh hiperosmotik
terhadap mediumnya,maka invertebrata air tawar menghadapi dua masalah
osmoregulasi yaitu:
- Tubuhnya cenderung menggembung karena gerakan air masuk ke dalam tubuhnya mengikuti gradien kadar
- Hewan menghadapi kehilangan garam tubuhnya, karena medium di sekitarnya mengandung garam lebih sedikit.
Oleh
karena itu invertebrate air tawar sebagai regulator hiperosmotik harus mengatur
jumlah air yang masuk dan jumlah garam yang keluar tubuhnya. Pada umumnya
regulator hiperosmotik memiliki urin yang lebih encer dari cairan tubuhnya.
Ikan
air tawar memiliki osmokosentrasi plasma sebesar 130 – 170 mOsm, urin banyak
dan encer. Perbandingan penuntunan titik beku antara medium, cairan tubuh dan
urin adalah sebagai berikut : (∆0 = -0,030 C ; ∆I
= -0,57 C; ∆u = -0,08 C) dan volume urinnya 200-400 ml/kg/hari.
Kulitnya relative impermiabel, sedikit air masuk lewat minum dan makan, tetapi
jumlah air yang masuk melalui osmotic melalui insang dan membrane mulut.
Kelebihan air yang masuk akan diimbangi dengan eksresi lewat ginjal, sebab
ginjalnya memiliki glimeruli yang telah berkembang dengan baik untuk filtrasi.
Begitu filtrat melalui tubulus, sebagian besar zat terlarut direabsorbsi,
sehingga menghasilkan urin yang encer, namun tidak seencer air tawar, sehingga garam
yang hilang selain melalui urin juga melalui difusi dan feses. Garam yang
hilang sebagian diganti lewat makanan, sebagian lewat absorpsi aktif dari
medium oleh sel-sel khusus pada insang. Klorida diabsorbsi melawan gradient
dari medium yang sangat encer.
Untuk
penambahan garam, beberapa spesies bergantung terutama pada makanan (Acerina,
Perca) sementara yang lain memilki system absorbsi garam secara aktif
melalui insang (Leuciscus, Carrasius). Keadaan ini dapat diteliti dengan
menempatkan ikan dalam ruang yang bersekat, sehingga bagian kepala dan bagian
tubuh belakang dapat dipelajari secara terpisah. Dengan penelitian semacam itu
diketahui bahwa pengambilan ion secara aktif terjadi hanya pada ruang bagian
depan. Kesimpulannya bahwa kulit hanya berperan kecil dalam pengambilan ion dan
kalau ada melalui absorbsi melalui absorsi aktif.
Selain
itu ikan yang hidup di air tawar pada umumnya kadar osmotic cairan tubuhnya
adalah 300 m0sm per liter dan bersifat hipertonik dibandingkan dengan
lingkungannya (air tawar).
Meskipun
permukaan tubuhnya biselubungi oleh sisik dan mucus yang relatif impermeabel,
manun demikain bayak air yang masuk ke dalam tubuh dan juga terjadi pengeluaran
ion-ion melintasi insang yang bersifat sangat permiabel. Selain itu insang disini
juga merupakan organ eksresi yang membuang zat buangan bernitrogen dalam bentuk
ammonia. Untuk menjaga cairan tubuhnya agar tetap dalam keadaan konstan
(keadaan lunak), ikan air tawar secara terus menerus mengeluarkan sejumlah
besar air. Ini dilakukan dengan cara memproduksi sejumlah besar filtrat
glomerulus dan kemudian dilakukan reabsorbsi pilihan zat terlarut dan tubulus
renalis menuju kedalam darah yang terdapat di kapiler peritubuler. Akibatnya
terbentuklah urin dengan jumlah besar, bersifat encer (hipotonik bidandingkan
dengan darh ikan tersebut), mengandung ammonia dan sedikit mengandung zat
terlarut. Ion-ion yang hilang dari cairan tubuh diganti dengan makanan yang
dimasukkan kedalam tubuh dari lingkungannnya dengan perantaraan secara khusus
yang terdapat di insang. (Wulangi,kartolo.S.1993 : 164-165)
V. KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil praktikum, maka dapat disimpulkan bahwa semakin jauh
perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi
metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya
adaptasi.
http://widiindrakesuma.blogspot.co.id/2013/10/osmoregulasi-laporan-praktikum.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar