Sabtu, 04 November 2017

KEARIFAN LOKAL MINANGKABAU

MAKALAH

ILMU BUDAYA DASAR

“KEARIFAN LOKAL MINANGKABAU”



Disusun Oleh:

Chyntia Wulandari (11217359)
Faqih Al Fikri (12217147)
Nabila Rama A. (14217343)
Pratama F. Saputra (14217730)





Kelas 1EA12
Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen
Universitas Gunadarma
2017



                                                     DAFTAR ISI                            


HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………..  1                                                                                                                                                                                      
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..  2                                                      

BAB 1  PENDAHULUAN……………………………………………………………. 3
1.     1. LATAR BELAKANG……………………………………………………… 3
1.   2. RUMUSAN MASALAH………………………………………………..4
1.   3. TUJUAN PENULISAN………………………………………………….4

BAB 2 PEMBAHASAN……………………………………………………………….5
2.     1. PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL………………………………….5
      2.  2. CIRI-CIRI KEARIFAN LOKAL ………………………………………..5
2.  3. PENTINGNYA KEARIFAN LOKAL…………………………………. 6
2.  4. KEARIFAN LOKAL di MINANGKABAU………………………….       7

BAB 3 PENUTUP………………………………………………………………………13
3.     1. KESIMPULAN…………………………………………………………….13
3.   2. DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….14














BAB 1

PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG

Pada masalalu Indonesia atau Nuswantara (Nusantara) pernah dalam kondisi tidak miskin, termasuk perempuannya. Pernah pada masa Majapahit dan sebelumnya, salah satu Negara Induk di Nusantara menguasai wilayah Asia Tenggara dan mempunyai peraturan lengkap dalam melindungi segenap tumpah darah dan mensejahterakan warganya. Berbagai bentuk peraturan dan tradisi dari Negara besar dimasalalu diwarisi dalam kearifan lokal yang menjadi panduan etika bermasyarakat dan bernegara.

Pada masa itu filsafat moral yang mencirikan perbuatan dan sifat dari tindakan telah diatur dan mengacu pada kebaikan semua mahluk mikro dan makro kosmos. Mahluk mikro kosmos adalah individu manusia pribadi, sedangkan makro kosmossebagai bagian mahluk social dalam kesimultanan tatanan alam semesta raya.

Salah satu warisan peradaban gemilang tersebut kini dikenal dengan kearifan lokal yang hingga hingga kini menjadi pengetahuan empirik, dipraktekkan, dan dikembangkan dan serta layak direvitalisasi.

Sebagai warisan masalalu, kearifan lokal diartikan sebagai tradisi yang dilaksanakan baik oleh individu maupun kelompok dalam suatu wilayah kecil maupun luas, memiliki muatan nilai penghormatan pada sesama mahluk, alam semesta dan Yang Maha Kuasa yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan dan kesentosaan manusia.

Kearifan lokal juga mengacu pada kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat dikenal, dipercayai, diakui sebagai elemen penting yang mampu mepertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat.

Kearifan lokal juga mencirikan suatu partisipasi masyarakat lintas kelas, lintas golongan, lintas gender, lintas religi.Kearifan lokal memiliki potensi untuk mencegah mengurangi pemiskinan perempuan dan masyarakat pada umumnya. Walaupun dalam berbagai definisi kearifan lokal dianggap hal terbatas dalam komunitas wilayah, kesamaan model dan pola prakteknya membuktikan sebagai budaya adiluhur yang dipraktekkan dan diterima secara nasional. Bahkan bila dirunut, Dasar Negara Pancasila yang oleh Soekarno selaku penggagas menyatakan bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai yang sudah ada di bumi Nuswantara, nilai yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Pada Pancasila tercantum seluruh bentuk kearifan lokal yang dibahasakan secara padat dalam sila Pertama kepercayaan pada Yang Maha Kuasa, sila Kedua saling meghormati, solidaritas dan tolong menolong satu sama lain, sila Ketiga bahu membahu gotong royong saling menguatkan, sila Keempat bermusyawarah, mendengarkan dan menimbang segala putusan bersama untuk tujuan bersama dan sila Kelima berlaku adil dalam hidup bermasyarakat agar  sejahtera tercapai bersama.


1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari untaian diatas, kami akan membahas tentang kearifan lokal, diantaranya:
1.     Pengertian kearifan lokal
2.     Pentingnya kearifan lokal
3.     Kearifan lokal di Minangkabau


1.3 TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan tugas mata kuliah ilmu budaya dasar khususnya tentang pembahasan kearifan lokal budaya. Melalui makalah ini, penulis mencoba untuk memberikan pengetahuan mengenai kearifan lokal budaya di Indonesia. Dan senantiasa diharapkan untuk melestarikan budaya kita ini agar tidak punah dan tidak diambil oleh negara lain.



BAB 2

PEMBAHASAN


2.1 PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL

Kearifan Lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan ( wisdom ) yang artinya kebijaksanaan dan lokal ( local ) yang berarti daerah setempat. Jadi secara umum pengertian dari Kearifan Lokal adalah Gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun.


2.2 CIRI-CIRI KEARIFAN LOKAL

Kearifan Lokal memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu :
1.     Mempunyai kemampuan mengendalikan.
2.     Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
3.     Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar.
4.     Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
5.     Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli.
Kearifan Lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode          yang panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan, kearifan lokal disetiap daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.
        2.3 PENTINGNYA KEARIFAN SOSIAL
Sebagaimana dipahami, dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan.

Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukimannya. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam.

Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan.

Dalam pendekatan kebudayaan ini, penguatan modal sosial, seperti pranata sosialbudaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting menjadi basis yang utama.

Seperti kita ketahui adanya krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat yang hidup dengan menggantungkan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern.

Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya.

Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan.

Keadaan demikian memerlukan pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sehingga dapat meningkatkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri.


2.4 KEARIFAN LOKAL di MINANGKABAU





Kearifan Lokal merupakan adat dan kebiasan  yang telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh  masyarakat hukum adat dalam suatu wilayah di negara tercinta Indonesia ini, seperti Subak di Bali, Bera di Kalimantan dan lain sebagainya.

Di Propinsi Sumatera Barat yang sering juga disebut dengan Ranah Minang, juga terdapat beberapa jenis Kearifan Lokal yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Tanah dan Air diantaranya Rimbo Larangan, Banda Larangan, Tabek Larangan, Mamutiah Durian, Parak, Menanam Tanaman Keras sebelum Nikah, Goro Basamo dan masih banyak lagi yang lainnya.

  •     Rimbo Larangan (Hutan Larangan)



Yaitu hutan yang menurut aturan adat tidak boleh ditebang karena fungsinya yang sangat vital sekali sebagai persediaan air sepanjang waktu untuk keperluan masyarakat, selain itu kayu yang tumbuh dihutan juga dipandang sebagai perisai untuk melindungi segenap masyarakat yang bermukim disekitar hutan dari bahaya tanah longsor. Apabila ada terdapat diantara warga yang akan membuat rumah yang membutuhkan kayu, maka harus minta izin lebih dulu kepada aparat Nagari melalui para pemangku adat untuk menebang kayu yang dibutuhkan dengan peralatan Kapak dan Gergaji tangan.

  •      Banda Larangan (Sungai, Anak Sungai / Kali Larangan) 


Merupakan suatu aliran sungai yang tetap dijaga agar tidak tercemar dari bahan atau benda yang bersifat dapat memusnahkan segenap binatang dan biota lainnya yang ada di aliran sungai sehingga tidak menjadi punah, seperti halnya warga masyarakat tidak boleh menangkap ikan dengan cara Pengeboman, memakai racun, memakai aliran listrik dan lain sebagainya. Untuk panen Ikan dari Banda Larangan tersebut, pihak Pemangku Adat dan Aparat Nagari melaksanakan dengan cara membuka larangan secara bersama-sama masyarakat untuk kepentingan bersama dan hasilnya selain untu masyarakat juga sebahagian untuk KAS Nagari. Biasanya Banda Larangan ini dibuka sekali setahun atau sekali dua tahun tergantung kesepakatan Para Pemangku Adat.

  •     Tabek Larangan (Kolam Larangan)


Yaitu Kolam air yang dibuat secara bersama oleh masyarakat pada zaman dulu dengan tujuan untuk persediaan air bagi kepentingan masyarakat dan didalam Tabek tersebut juga dipelihara berbagai jenis ikan, saat untuk membuka Tabek Larangan tersebut sama dengan seperti di Banda Larangan. 

  •     Mamutiah Durian (Memutih Durian) 


Yaitu kegiatan menguliti pohon durian apabila kedapatan salah seorang warga masyarakat pemilik pohon durian yang memanjat dan memetik buah durian sebelum durian itu matang, hal itu dilakukan sebagai sanksi moral bagi masyarakat yang melakukannya karena dipandang tidak mempunyai rasa sosial antar sesama. Setelah pohon Durian dikuliti maka secara berangsur pohon itu akan mati. Biasanya pemilik pohon durian akan mendapatkan hasil semenjak matahari terbit sampai terbenam, sedangkan disaat malam hari buah durian yang jatuh telah menjadi milik bersama.
  •     Parak 



Yaitu suatu lahan tempat masyarakat berusaha tani dimana terdapat keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang waktu secara bergiliran, sehingga pada lahan parak ini terdapat nilai ekonomi yang yang berkelanjutan. Apabila dilihat dari jauh, parak di pandang seolah-olah seperti hutan dan juga berfungsi sebagai penyangga bagi daerah dibawahnya.

Selain itu, Minangkabau juga merupakan daerah asal dari beberapa tokoh nasional yang sangat berpengaruh  dalam upaya merebut kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dulu, diantaranya adalah Mohammad Hatta, Muh. Yamin, dan Sutan Syahrir. Mereka adalah tokoh yang patut dijadikan teladan dan sumber motivasi untuk tetap memperjuangkan dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa bagi seluruh masyarakat di Indonesia pada umumnya dan orang Minang khususnya.

Minangkabau yang terdiri dari berbagai macam suku yang pada awalnya bersumber dari dua suku tertua yaitu Koto Piliang dan Bodi Chaniago yang merupakan warisan dari Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan kemudian kedua suku tersebut mekar seiring dengan bertambah luasnya daerah Minangkabau dan penduduknya.

Anggota suatu suku terdiri atas sebuah keluarga dan keturunannya. Setiap suku harus ada pemimpinnya supaya anggota suku tersebut tidak terpecah belah dan bisa diarahkan kepada hal yang baik. Pemimpin dari suatu suku disebut dengan Penghulu yang memiliki gelar. Gelar tersebut diberikan secara turun temurun dari generasi pertama hingga generasi selanjutnya. Pewarisan suku kepada anak adalah berdasarkan suku ibunya. Maka, berdasarkan aturan tersebut, Minangkabau menjadi salah satu dari segelintir negara didunia yang menganut sistem matrilineal. Dan sampai saat ini sistem matrilineal hidup berdampingan dengan hukum islam di Minangkabau. Di Minangkabau, posisi yang tertinggi itu tidak hanya diperankan oleh laki-laki sebagai Penghulu, akan tetapi seorang wanita juga memiliki kedudukan yang tinggi dalam  kekerabatannya dengan menjadi Bundo Kanduang. Wanita merupakan pemimpin dan pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi terhadap harta pusaka, sedangkan yang laki laki hanya diperbolehkan ikut mengolah dan mengatur pemanfaatan harta pusaka untuk kamanakan (keponakan) dan dunsanaknyo (kerabat atau saudaranya) supaya tidak terjadi selisih paham karena harta pusaka. Maka dari itu, pemilik rumah gadang di Minangkabau adalah wanita sedangkan laki-laki hanya menumpang dirumah istrinya.

Sebagai seorang Bundo Kanduang, wanita di Minangkabau dituntut untuk menjadi seorang yang taat beragama, cerdas, berbudi pekerti yang baik, bijaksana, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Seorang wanita di Minangkabau harus mengerti dengan ungkapan berikut “tahu di mudharat jo manfaat,  mangana labo jo rugi,  mangatahui sumbang jo salah, tahu di unak kamanyangkuik, tahu di rantiang ka mancucuak, ingek di dahan ka mahimpok, tahu di angin nan basiruik, arih di ombak nan basabuang, tahu di alamat kato sampai”. Ungkapan tersebut merupakan seruan bagi kaum wanita di Minangkabau supaya selalu ingat bahwa dia adalah seorang pemimpin (pemilik suku) yang harus menjadi teladan yang
penuh dengan kearifan serta menjaga nama baik keluarga ataupun sukunya. Seorang wanita hendaklah hati-hati dalam bertutur kata supaya tidak ada orang yang tersinggung dan dalam berjalan haruslah memperhatikan langkahnya agar sesuatu yang dilakukan tiak mendatangkan mudarat nantinya, sesuai dengan ungkapan “bakato sapatah di pikiri, bajalan salangkah maliek suruik, muluik tadorong ameh timbangannyo, kaki tataruang inai padahannyo, urang pandorong gadang kanai, urang pandareh hilang aka”. Selain itu, kaum wanita juga harus selalu taat beribadah kepada Allah SWT, menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, rendah hati, dan sopan santun. Kaum wanita harus bisa menjadi panutan bagi anak cucunya, harus hidup hemat sebagai pemilik harta kekayaan, tidak boleh berfoya-foya karena harta terebut yang nantinya akan dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup anak cucunya kelak. Sehingga, setiap suku di Minangkabau dapat dipastikan memiliki harta benda pusaka masing-masing.
           
Begitu banyaknya suku di Minangkabau dan perkawinan antara dua suku yang sejenis dilarang. Seorang wanita akan di perbolehkan menikah dengan laki-laki yang berasal dari suku lain atau dari luar suku wanita tersebut, apabila terdapat pernikahan dalam satu suku yang sama, maka masyarakat berhak memberikan sanksi sesuai dengan aturan adat di Minangkabau. Biasanya orang yang menikah dengan suku yang sama akan dibung oleh adat, mereka tidak diperbolehkan lagi tinggal di daerah tersebut. Akan tetapi, jika pernikahan itu terjadi antara dua suku yang berbeda maka anak hasil dari pernikahan itu nantinya akan mengikuti suku ibunya, bukan ayahnya. Posisi ayah atau seorang suami di Minangkabau biasanya disebut sebagai Sumando. 



Sumando adalah orang luar (pendatang) di keluarga istrinya dan dia harus menjadi pelindung keluarganya. Seorang sumando juga bisa menjadi mamak di keluarganya dan bertugas untuk mengarahkan kamanakannya. Sesuai dengan pepatah, “ Anak dipangku, kamanakan dibimbiang”. Maka, seorang sumando itu wajib menjadi ayah yang hebat bagi anak anaknya, memberikan contoh yang baik dan mengarahkan dan membimbing kamanakannya. Selain itu, seorang sumando juga tidak diperbolehkan untuk membawa harta sang istri ke keluarganya, karena sumando hanyalah pendatang di keluarga sang istri. Ada 4 kriteria sumando yang terkenal di Minangkabau, yaitu :

·    Sumando Niniak Mamak

Merupakan sumando yang bertanggungjawab terhadap keluarganya, baik dalam keluarga istri maupun keluarganya sendiri, dan berhasil menjadi suri teladan bagi anaknya dan membimbing serta mengarahkan kamanakannya, begitu juga dengan budi pekertinya dalam bergaul dengan masyarakat sekitar.

·   Sumando Langau Hijau

Adalah sebutan bagi sumando yang kerjaannya hanya kawin cerai dan memiliki anak dimana-mana.

·    Sumando Kacang Miang

Adalah sebutan bagi sumando yang hanya menjadi pengganggu dan merusak ketentraman di lingkungan masyarakat.

·    Sumando Lapiak Buruak

Adalah sebutan bagi sumando yang hanya berdiam diri di rumah istrinya, bahkan sampai melupakan kampung halaman dan kemenakannya.

·    Sumando Apak Paja

Adalah sebutan bagi sumando yang hanya bisa menjadi pejantan biasa saja.

·    Sumando Gadang Malendo

Adalah sebutan bagi sumando yang tidak sopan telah mendahului para mamak di rumah istrinya dalam mengatur para kamanakan dan berlagak tanpa malu malu bagaikan pemimpin (kepala kaum) di keluarga istrinya.


BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Minangkabau memiliki sistem kekerabatan yang unik dan beda dengan daerah lainnya yaitu sistem kekerabatan matrilineal. Sistem kekerabatan menurut garis keturunan Ibu tersebut menjadikan wanita di Minangkabau menempati posisi yang sangat penting dalam kaumnya. Sistem matrilineal tersebut menjadi sebuah kearifan lokal masyarakat Minang sejak dahulu sampai dengan saat sekarang ini.

Peran Bundo Kanduang sangat besar sekali pengaruhnya bagi perkembangan suatu suku. Meskipun sistem tersebut terikat dengan adat, kehidupan masyarakat Minang juga harus dibarengi dengan kesungguhan dalam menjalankan syariat Agama Islam yang dianutnya.

Adat Istiadat di Minangkabau dibuat untuk mengatur tata prilaku atau adab pergaulan sehari-hari yang selalu berpedoman kepada Alqur’an sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT karena kecintaanNya kepada hambaNya.

Oleh sebab itu, kearifan lokal yang bernilai tinggi yang menjadi ciri khas suatu daerah dan langka di dunia tersebut harus selalu dijaga, dipelihara, dan dilestarikan keberadaannya, karena kearifan lokal juga termasuk kedalam pencerminan terhadap jati diri masyarakat setempat yang memiikinya, seperti apa prilaku dan adab masyarakat setempat bisa dilihat secara keseluruhan dengan kearifan lokal yang mereka miliki.

Kearifan lokal adalah sebuah pola pikir dan cara pandang yang direalisasikan dalam bentuk kegiatan dan semacamnya dan menjadi tradisi secara turun temurun yang diciptakan bersama oleh masyarakat, dari masyarakat, dan untuk masyarakat.




3.2 DAFTAR PUSTAKA


https://www.infokekinian.com/pengertian-dan-contoh-kearifan-lokal/

Sabtu, 07 Oktober 2017

Kebudayaan Suku Betawi




MAKALAH

ILMU BUDAYA DASAR

"KEBUDAYAAN SUKU BETAWI"


Image result for lambang gunadarma


Disusun Oleh :

Chyntia Wulandari (11217359)
Faqih Al Fikri (12217147)
Nabila (14217343)
Pratama F Saputra (14217730)


                                                               


                                                              Kelas 1EA12
Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen
Universitas Gunadarma
2017






DAFTAR ISI

                                                                                                            Halaman

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………..            i
DAFTAR ISI..........................................................................        ii

BAB 1     PENDAHULUAN.....................................................        1
1.     A. Latar Belakang..............................................         1
1.     B. Rumusan Masalah........................................          2
1.     C. Tujuan Penulisan..........................................         2

BAB 2     PEMBAHASAN.......................................................        3
2.     A. Sejarah Asal Usul suku Betawi.....................           3
2.     B. Rumah adat Betawi......................................          5
2.     C. Upacara pernikahan adat Betawi.................           6
2.   D. Perilaku dan sifat adat Bewati.....................          10
2.   E. Kepercayaan suku Betawi............................         11
2.   F. Bahasa suku Betawi.....................................         11
               2.  G. Seni dan kebudayaan suku Betawi...............          12
                2.  H. Makanan khas Betawi..................................         14

BAB 3     PENUTUP…………………………………………………………….         16
3.     A. Kesimpulan..................................................         16
3.     B. Daftar Pustaka..............................................        17












 


BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk hidup yang diciptakan oleh tuhan sebagai makhluk sosial dan berbudaya, hal ini dapat kita lihat dari perkembanganmanusia yang ditandai dengan adanya peradaban -peradaban yang ada serta budaya yang sudah terbentu.manusia mendiami suatu wilayah yang berbeda. Hal ini membuat adat istiadat, kebudayaan, dan keperibadian setiap manusia suatu wilayah berbeda satu dengan yang lainnya. Namun dapat dibedakan secara garis besar terdapat pembagian tiga wilayah, yaitu: barat, timur tengah, dan timur.

Indonesia adalah termaksuk ke dalam bangsa timur, yang dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian baik. Bangsa timur telah dikenal oleh dunia sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Orang-orang dari wilayah lain sangan menyukai orang timur dikarenakan keperibadian orang timur yang tidak individualitas dan saling tolong menolong satu dengan yang lainnya.

Menurut Solo Soemarjan menjelaskan bahwa yang dimaksud masyarakat adalah manusia yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.dengan demikian tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan. Sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendahulunya. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama untuk melakukan berbagai kegiatan bagi kepentingan bersama atau sebagian besar hidupnya berada dalam kehidupan budaya.

Suku Betawi berasal dari hasil kawin antar etnis dan bangsa di masa lalu secara biologis. Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni di Jakarta dan Bahasa Melayu Kreol adalah bahasa yang digunakannya, dan juga kebudayaan melayunya adalah kebudayaannya. Kata Betawi sebenarnya dari kata “Batavia”, yaitu nama kuno Jakarta yang pernah diberikan oleh Belanda. Jadi, sangatlah menarik bila diteliti secara struktur, proses dan pertumbuhan sosial suku Betawi mulai dari sejarah, bahasa, kepercayaan, profesi prilaku, wilayah, seni dan budaya










 

B. RUMUSAN MASALAH

Dari untaian kata diatas, kami ingin menjelaskan kepada masyarakat mengenai batasan dan rumusan masalah dalam beberapa point penting:

1. Bagaimana sejarah asal usul suku Betawi
2. Apakah rumah adat Betawi
3. Bagaimana cara upacara pernikahan adat Betawi
4. Bagaimana perilaku dan sifat dari Suku Betawi
5. Apa saja kepercayaan Suku Betawi
6. Apa bahasa yang dipaka Suku Betawi
7. Apa saja seni dan kebudayaan Suku Betawi
8. Apa makanan khas Betawi?           



C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan dari makalah kami ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang salah satu adat budaya yang ada di Indonesia yaitu suku Betawi dari segala aspeknya. Dan adapun manfaat dari penulisan ini untuk menambah wawasan masyarakat mengenai suku Betawi.















BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH ASAL USUL KEBUDAYAAN BETAWI 

Ada tiga pendapat yang menjelaskan tentang sejarah suku Betawi, yaitu:

1. Pendapat Pertama

Pendapat pertama mengatakan bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Sehingga etnis betawi disebut sebagai pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.

2. Pendapat Kedua

Pendapat kedua menurut sejarawan Sagiman MD etnis Betawi telah mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum. Ia berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura.
Pendapat tersebut juga dipertegas dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)". Dalam monografinya mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 – 3000 SM.

3. Pendapat Ketiga

Lance Castles yang pernah melakukan penelitian tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University yang mengatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis yang ada di Indonesia (Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon) maupun dari luar seperti Arab, India, Tionghoa dan Eropa.

Penelitian yang dilakukan Lance Castles tersebut menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu:

  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.








Etimologi Betawi

Menurut para ahli dan sejarahwan asal mula kata Betawi mengacu pada pendapat berikut:

1. Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Batu Jaya, Karawang merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.

2. Betawi (Bahasa Melayu Brunei) di mana kata "Betawi" digunakan untuk menyebut giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.

3. Flora Guling Betawi (Cassia Glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh. Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau.

Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"


Sehinga Kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (nama lama kota Jakarta pada masa Hindia Belanda), dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek moyang orang Belanda.












 

B. Rumah Adat Betawi

Rumah kebaya merupakan salah satu peninggalan budaya nenek moyang adat Betawi dalam bidang arsitektur hunian yang masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Sebetulnya ada 2 rumah adat Betawi selain Rumah Kebaya ini.Mereka adalah rumah gudang dan rumah joglo. Namun, kedua rumah tersebut kurang begitu populer, sehingga rumah kebaya-lah yang kemudian tercatat secara resmi sebagai rumah adat betawi. 

Image result for rumah adat betawi

Ciri khas rumah ini adalah teras rumahnya yang luas disanalah ruang tamu dan bale tempat santai pemilik rumah berada, semi terbuka hanya di batasi pagar setinggi 80 cm dan biasanya lantainya lebih tinggi dari permukaan tanah dan terdapat tangga terbuat dari batubata di semen paling banyak 3 anak tangga. Depan dan sekeliling rumah adalah halaman rumah yang luas baru pagar paling luar dari rumah tersebut. Bentuknya sederhana dan terbuat dari kayu dengan ukiran khas betawi dengan bentuk rumah kotak ( dibangun diatas tanah berbetuk kotak). Rumah Bapang terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, kamar mandi, dapur dan teras extra luas. Sebutan rumah kebaya bagi rumah adat betawi sebetulnya berasal dari kontruksi atap rumah ini yang jika dilihat dari samping memiliki lipatan-lipatan mirip lipatan kain kebaya. Kain kebaya sendiri merupakan kain tradisional betawi yang hingga kini sering dikenakan para wanita betawi pada saat upacara-upacara adat mereka.






C. Upacara Pernikahan Adat Betawi


Masyarakat Betawi memiliki ragam tata cara pernikahan dengan karakteristik yang cukup unik. Dialog spontan, rileks dan terkesan ceplas ceplos menjadi salah satu ciri khas yang bukan hanya menarik minat untuk diikuti tetapi juga penuh dengan makna. Berikut paparan beberapa tata cara adat pernikahan yang masih sering dilakukan oleh masyarakat Betawi.

1. Ngelamar
Image result for pernikahan adat betawi
Ngelamar atau melamar adalah pernyataan dan permintaan resmi dari pihak keluarga pemuda untuk menikahkan putranya kepada pihak calon mempelai wanita. Ngelamar dilakukan oleh beberapa orang utusan yang disertai dengan membawa sejumlah barang bawaan wajib, antara lain:
•        Sirih Embun; bawaan wajib dalam lamaran yang berisi daun sirih dilipat bulat dan diikat potongan kertas minyak, sirih yang telah diisi rempah-rempah, bunga rampai tujuh rupa, serta tembakau yang dihias dalam berbagai bentuk. 

•        Pisang raja dua sisir dibawa di atas nampan yang dihias dengan kertas warna-warni. Setiap ujungnya ditutup dengan cungkup kertas minyak berwarna hijau, kuning atau merah. Pisang raja ini harus ada karena dianggap buah yang tinggi nilainya, sesuai dengan namanya.

•        Roti tawar dibawa di atas nampan dihias dengan kertas warna-warni.
•        Uang sembah lamaran, hadiah lainnya berupa baju atau bahan pakaian wanita.

Setelah ngelamar selesai, acara yang sangat menentukan pun dilanjutkan yakni membicarakan masalah mas kawin, uang belanja, plangkah (kalau calon pengantin mendahului kakak kandungnya), dan kekudang (makanan kesukaan calon pengantin wanita). Pembicaraan dilakukan oleh utusan pihak keluarga wanita dengan utusan pihak keluarga pria.

Dalam rangkaian pernikahan adat Betawi, acara ini merupakan unsur yang sangat menentukan. Apabila tande putus telah disepakati maka dilanjutkan dengan pembicaraan yang lebih rinci perihal: apa dan berapa banyaknya tande putus, berapa biaya yang diperlukan untuk keperluan pesta, berapa lama atau berapa hari pesta itu akan diselenggarakan, berapa jumlah perangkat pakaian upacara perkawinan dikenakan pengantin perempuan, serta perihal siapa dan berapa banyak undangan.

2. Bawa Tande Putus

Acara ini bisa disepadankan dengan bertunangan. Tande putus bisa berupa apa saja, namun orang Betawi biasanya memberikan tande putus kepada si gadis berupa cincin belah rotan, uang pesalin sekedarnya, serta aneka rupa kue.

Tande Putus ini sendiri artinya si gadis atau calon none mantu telah terikat dan tidak dapat lagi diganggu oleh pihak lain, begitu pula dengan si pemuda atau calon tuan mantu. Setelahtande putus diserahkan, maka berlanjut dengan menentukan hari dan tanggal pernikahan.

Menentukan Mahar atau Mas Kawin

Mahar atau mas kawin menjadi pembicaraan pokok. Tempo dulu dengan mendengar permintaan dari pihak calon none mantu, mak comblang dan utusan dari keluarga calon tuan mantu akan segera memahami apa yang diinginkan.
Apabila pihak calon none mantu mengatakan “none kite minta mate bandeng seperangkat,” itu adalah kata kiasan yang berarti calon none mantu menghendaki mas kawin berupa seperangkat perhiasan emas berlian. Bila pihak calon none mantu menyatakan, “none kite minta mate kembung seperangkat”, artinya maskawin yang diminta adalah seperangkat emas perhiasan bermata intan asli.
Berdasarkan pembicaraan tentang mas kawin ini pihak pengantin pria harus bisa memperkirakan berapa jumlah belanja resepsi pernikahan dengan memperhatikan besarnya nilai mas kawin.
Setelah acara bawa tande putus, kedua belah pihak mempersiapkan keperluan pelaksanaan acara akad nikah. Masa ini dimanfaatkan juga untuk memelihara calon none mantu yang disebut dengan piare calon none penganten dan orang yang memelihara disebut tukang piare penganten atau dukun penganten.

3. Piare Calon None Penganten 

Masa dipiare yaitu masa calon pengantin wanita (biasa disebut none mantu) dipelihara oleh tukang piare selama satu bulan. Dimaksudkan untuk mengontrol kegiatan, kesehatan, dan memelihara kecantikan calon none mantu menghadapi hari pernikahan. Selain perawatan fisik, juga dilengkapi program diet dengan pantang makanan tertentu untuk menjaga berat tubuh ideal calon mempelai wanita, juga disertai minum jamu godok dan jamu air akar secang. Sekarang ini sulit sekali untuk memelihara calon none mantu selama satu bulan, sehingga kegiatan ini hanya dilakukan dalam 1-2 hari menjelang pernikahan.

4. Siraman dan Ditangas

Acara siraman atau mandiin calon pengantin wanita diadakan sehari sebelum akad nikah dan biasanya diawali dengan pengajian. Perlengkapan yang perlu disediakan antara lain kembang setaman, ramuan tambahan berupa daun jeruk purut, pandan wangi, akar wangi, daun mangkokan, daun sereh dan sebagainya; paso dari tanah, kursi rotan berlubang-lubang atau kursi kayu yang tengahnya diberi lubang, dan tikar pandan sebagai penutup saat acara tangas.

Urut - Urutan Acara Siraman:

1.   Calon pengantin wanita (none mantu) mengenakan kain sarung dan kebaya tipis. Rambut dikonde sederhana dan ditutup kerudung tipis untuk menahan bunga dari air siraman.
2.    Calon pengantin wanita mohon doa restu kepada kedua orang tua untuk melaksanakan upacara mandi, kemudian digandeng ke tempat siraman diiringi Shalawatan Badar.

3.    Calon pengantin wanita duduk di kursi yang berlubang.

4.    Calon pengantin wanita dimandikan oleh tukang piare dengan air kembang setaman (7 rupa), sambil tukang piare membaca Shalawat dan Dzikir. Bila ada permintaan dari keluarga, maka orang tua ikut memandikan.

Setelah acara siraman, calon pengantin wanita menjalanI upacara tanggas atau kum (semacam mandi uap) untuk membersihkan bekas-bekas lulur yang masih tertinggal di pori-pori kulit. Perawatan ini dimaksudkan untuk menghaluskan dan mengharumkan kulit tubuh sekaligus mengurangi keringat pada hari pernikahan.

5. Ngerik dan Potong Centung

Berlangsung di dalam kamar calon mempelai wanita. Adapun perlengkapan yang perlu disediakan yakni kain putih ukuran dua meter untuk alas, kembang setaman, air putih dalam cawan dengan sekuntum bunga mawar atau lainnya untuk tempat gunting,pedupaan dan setanggi/gaharu, alat cukur, dua keping uang logam untuk batas centung (satu kali lipatan) dan untuk batasan mencukur anak rambut, serta tempat sirih lengkap dengan isinya. Ngerik bertujuan membersihkan bulu-bulu kalong calon pengantin wanita yang tumbuh di sekitar kening, pelipis, tengkuk dan leher. Setelah itu tukang piare membuatkan centung (potongan centung) pada rambut di kedua sisi pipi dengan menggunakan uang logam untuk menjepitnya, agar pengantin selalu mendapat keberkahan dan keselamatan.




D. Perilaku dan Sifat Suku Betawi

Nilai-nilai kebetawian yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Betawi melahirkan karakter yang tegas dan sabar pada diri orang Betawi. Walaupun hidup dalam kesusahan, orang Betawi tidak akan menjual keyakinan mereka. Sesuatu yang telah mereka anut sejak kecil tidak akan mudah pudar begitu saja hanya karena kesusahan atau iming-iming harta-benda. Kehidupan bagi orang Betawi adalah sebuah perjuangan dan kerja keras yang terus berlanjut hingga kematian tiba. Oleh karena itu, karakter pantang menyerah dan selalu mencari jalan keluar adalah ciri dari orang betawi asli. Dalam mengatasi masalah hidup menjadi kekuatan tersendiri masyarakat Betawi. Karakter ini juga melahirkan sifat berani menghadapi tantangan apa pun pada diri orang Betawi selama mereka meyakini apa yang mereka pilih itu benar. Gambaran lain orang Betawi adalah sebuah penggambaran watak seorang manusia yang menghargai kejujuran dan keterbukaan. Kejujuran dan keterbukaan dalam masyarakat Betawi merupakan hal yang sangat esensial dan tampak dalam keseharian mereka, seperti terlihat dalam komunikasi mereka sehari-hari. Kejujuran masyarakat Betawi ini terlihat menonjol pada pola komunikasi mereka yang apa adanya, hampir jarang ditemui kata-kata untuk memperhalus maksud pembicaraan. Jika mereka mengatakan Hitam, maka akan dikatakan hitam, putih dikatakan putih, tidak dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Keterbukaan masyarakat Betawi menghadirkan rasa toleransi yang tinggi mereka terhadap kaum pendatang. Hal ini sudah terjadi sejak beratus-ratus tahun yang lalu hingga kini. Keterbukaan ini pun membuat kebudayaan Betawi menjadi semakin semarak dengan masuknya unsur-unsur budaya kaum pendatang yang berasimilasi dengan kebudayaan Betawi sendiri. Keterbukaan ini membuat masyarakat Betawi tidak menutup diri terhadap kemajuan dan perkembangan kebudayaan dunia. Akan tetapi, tentunya hal ini bukan berarti mereka menerima begitu saja kebudayaan yang dibawa para pendatang itu. Mereka juga mengkritisi kebudayaan itu sebelum mereka terima dalam keseharian mereka. Keterbukaan dan kejujuran masyarakat Betawi dalam keseharian ini pun melahirkan sikap orang Betawi humoris. Hal ini mungkin terjadi untuk menghindari pertengkaran karena sikap terbuka dan jujur mereka yang mungkin akan melukai hati orang lain. Dengan humor setidaknya sikap jujur mereka terhadap perbuatan seseorang yang buruk hanya akan ditanggapi main-main atau hanya bercanda oleh orang itu, walaupun maksudnya menyindir perbuatan orang itu. Kelucuan masyarakat Betawi umumnya juga terjadi karena keluguan dan kepolosan sikap mereka terhadap situasi yang mereka hadapi. Bahkan jika kita memperhatikan dunia hiburan saat ini, kita bisa mendapati jika model lawakan masyarakat Betawi banyak dimanfaatkan para komedian Indonesia, misalnya bentuk lawakan yang mengajak penontot terlibat seperti pada lenong yang dibawakan oleh Bolot, Malih dan teman-teman yang lainnya. Hal ini bukan hanya karena masyarakat Betawi memiliki sense of humor yang tinggi, tetapi juga karena model humor masyarakat Betawi hadir karena kejujuran mereka, bukan dibuat-buat. Selain itu, model humor Betawi juga mengajak penonton untuk aktif dan terlibat langsung dalam pertunjukkan mereka, seperti terlihat pada pertunjukkan lenong. Hal lain yang juga menunjukkan gambaran orang Betawi adalah rasa cinta mereka terhadap bangsa dan negara.



 

E. Kepercayaan Suku Betawi

Di samping kepercayaan terhadap agama yang begitu kuat, kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat Betawi masih mempercayai segala hal yang bersikap gaib atau supranatural. Adapun beberapa hal yang masih diyakini oleh kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat Betawi tersebut diantaranya adalah ; Kepercayaan akan dewa-dewa jahat, kepercayaan akan makhluk halus baik maupun jahat dan kekuatan-kekuatan lain yang diluar logika. Oleh sebab itu ada beberapa ritual seringkali dilakukan kelompok-kelompok kecil masyarakat Betawi ini guna menjaga hubungan antara manusia dengan makhluk –makhluk gaib diantaranya adalah dengan menggelar berbagai upacara atau persembahan.[2]
Kepercayaan akan kekuatan gaib juga bisa ditemui oleh masyarakat Betawi yang menempati beberapa wilayah seperti di Kampung Baru Kelapa Dua Wetan, Pondok Ranggon, Pasar Rebo, yang mempercayai bahwa setiap bayi yang dilahirkan selalu didampingi dengan empat saudara kandungnya yang tidak bisa dilihat dengan mata. Empat saudara kandung masing-masing dinamai ; Mbok Tutuban, Nyai Gumelar, Urihi dan tali ari-ari sebagai saudara yang keempat yang disebut Gebleghi. Tali ari-ari ini kemudian dikubur dan rohnya menjadi penjaga dan pelindung saudaranya yang hidup.
Demi menghormati keempat saudara ini maka dalam berbagai kesempatan, kelompok-kelompok tertentu dalam komunitas Betawi kerap member sesajen untuk menghormati keempat saudaranya. Sesajen tersebut dinamakan ancak dan dipasang di empat penjuru pekarangan rumah ketika sedang menggelar hajatan seperti pesta perkawinan dan khitanan.
Dalam upacara tradisional juga sering dibacakan mantra-mantra yang dikenal sebagai ‘ Empat Papat Kelima Pancer ’ Empat papat berarti empat hal atau manusia hidup harus memperhatikan empat hal yang ada di sekelilingnya maksudnya empat hal yang ada di penjuru angin termasuk utara, selatan, barat dan timur. Kelima pancer maksudnya adalah kelima pusat, dari atas kebawah atau sebaliknya. Kelima Pancer merupakan pencerminan hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya. Empat papat kelima Pancer berarti pola hubungan manusia dengan sesame secara horizontal dan pola hubungan manusia dengan Tuhan secara vertikal.

F. Bahasa suku Betawi

Bahasa Betawi adalah bahasa kreol (Siregar, 2005) yang didasarkan pada bahasa Melayu Pasar ditambah dengan unsur-unsurbahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa dari Cina Selatan (terutama bahasa Hokkian), bahasa Arab, serta bahasa dari Eropa, terutamabahasa Belanda dan bahasa Portugis. Bahasa ini pada awalnya dipakai oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah pada masa-masa awal perkembangan Jakarta. Komunitas budak serta pedagang yang paling sering menggunakannya. Karena berkembang secara alami, tidak ada struktur baku yang jelas dari bahasa ini yang membedakannya dari bahasa Melayu, meskipun ada beberapa unsur linguistik penciri yang dapat dipakai, misalnya dari peluruhan awalan me-, penggunaan akhiran -in (pengaruh bahasa Bali), serta peralihan bunyi /a/ terbuka di akhir kata menjadi /e/ atau /ɛ/ pada beberapa dialek lokal.



G. Seni dan Kebudayaan Suku Betawi

Suku Betawi memiliki kesenian dan kebudayaan yang beragam. Dan berikut kesenian dan kebudayaan dari masyarakat betawi:


Musik

Berikut seni musik masyarakat betawi :

1. Seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa
2. Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab
3. Orkes Samrah berasal dari Melayu
4. Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab
5. Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an
6. Seni Lenong
7. Gambang Kromong
8. Rebana Tanjidor
9. Keroncong
10. Lagu tradisional "Kicir-kicir".

Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur - unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Seperti:

1. Tari Topeng Betawi
2. Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda
3. Cokek, tari silat dan lain-lain.

Drama

1. Lenong
2. Tonil

Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta adalah :

1. Si Pitung
2. Jagoan Tulen atau si jampang
3. Nyai Dasima
4. Mirah dari Marunda
5. Murtado Macan Kemayoran
6. Juragan Boing
Pakaian Adat

Untuk Laki - Laki: Baju Koko, Celana Batik, Sarung diikat di pinggang, dan Peci

Untuk Perempuan : Kebaya

Image result for pakaian adat betawi








H. Makanan khas Betawi

  • Kerak Telor

















Image result for makanan khas betawi










  • Kue Rangi

Image result for makanan khas betawi



·         Nasi Uduk
Image result for nasi uduk






  • Gado - Gado

Image result for gado gado







 

BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan Kebudayaan Masyarakat Betawi

Suku Betawi berasal dari hasil kawin-kawin antar etnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi berasal dari kata "Batavia," yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda.
Betawi banyak memiliki makanan khas yang variatif, diantaranya yang lebih dikenal yaitu roti buaya. Roti buaya merupakan salah satu makanan kecil atau kue-kuean khas betawi yang cukup dikenal masyarakat. Roti buaya digunakan sebagai hantaran pernikahan karena ia memiliki falsafah hidup yang bermakna kesetiaan kekasih terhadap pasangannya. Karena itulah roti buaya menjadi makanan tradisi yang sangat pengting atau berpengaruh dalam sebuah acara pernikahan orang betawi.
Seni dan budaya betawi juga sangat beraneka ragam. Unsur kesenian tradisional Betawi yang sudah dikenal sejak zaman dahulu dan tetap hidup di kalangan orang Betawi hingga saat ini, khususnya di daerah pinggiran Jakarta meliputi seni tari, seni teater, seni musik dan seni wayang.





B. Sumber